WELCOME

WELCOME

Minggu, 22 Januari 2012

PROSES PEMBENTUKAN DAN KLASIFIKASI BATUBARA

Proses Pembentukan Batubara
Zat asal batubara, telah diketahui berupa materi tetumbuhan yang dahulunya pernah hidup subur di permukaan bumi. Tanpa memandang jenis batubaranya, semuanya merupakan mineral organik dan semuanya berasal dari sisa-sisa tetumbuhan berbagai jenis yang dahulunya hidup subur di permukaan bumi. Tetumbuhan purba ini, masa hidup dan jenisnya juga berbeda sesuai dengan umur geologi dan daerah keterdapatannya. Selain itu, kondisi lingkungan tempat sisa tetumbuhan tadi tersedimentasi, ditambah adanya pengaruh tekanan dan panas bumi yang terjadi setelah itu, serta pergerakan struktur kerak bumi, semuanya berpengaruh terhadap proses pembentukan berbagai jenis batubara. Dengan demikian, maka adalah suatu hal yang wajar apabila kualitas dan karakteristik batubara mungkin berbeda antara satu “lapangan batubara” (coal field) dengan ladang lainnya. Pada lapisan yang sama sekalipun, kualitas dan karakteristiknya dapat berbeda tergantung lokasi sebaran horisontal dari lapisan tersebut, letak batubara itu sendiri, apakah ada dibagian atas atau bawah lapisan, dan juga kedalaman tempat lapisan itu berada.
Di sisi lain, pada proses pembatubaraan (coalification), sisa-sisa tetumbuhan berada pada lingkungan .yang hampir tidak tersentuh oleh udara, ditunjang oleh pengaruh bakteri pembusuk yang sangat kecil sehingga setelah melewati masa geologi yang panjang, barulah sisa-sisa tetumbuhan tadi perlahan terurai dan berubah menjadi zat yang kaya akan kandungan karbon.
Selain itu, naik-turunnya lapisan tanah atau pergeseran maju-mundurnya garis pantai akan menyebabkan perubahan pada tingkat ketinggian air, dan ini kemudian diikuti dengan terbawanya batuan atau pasir laut bersama aliran air sehingga akhirnya menutupi lapisan endapan sisa-sisa tetumbuhan tersebut.
Dengan kondisi seperti itu, dimana sisa-sisa tetumbuhan berada pada lingkungan yang tidak bersentuhan dengan udara bebas, maka yang mengalami perubahan adalah unsur-unsur yang ada pada tetumbuhan asal, seperti oksigen, hidrogen, karbon, dan lain-lain.
Pertama-tama, oksigen dan hidrogen berikatan menjadi air, oksigen dan karbon berikatan membentuk gas karbon dioksida dan lain–lain. Akibatnya, lama-kelamaan kandungan oksigen berkurang yang diikuti dengan ikatan antara hidrogen dan karbon membentuk gas metan dan gas hidrokarbon lainnya.
Jumlah tetumbuhan yang diperlukan untuk menjadi batubara, dikatakan sekitar 17–20 kali jumlah tetumbuhan yang telah berubah menjadi gambut (peat). Tambahan lagi, untuk mendapatkan satu meter lapisan batubara, dibutuhkan waktu selama beribu-ribu tahun agar memperoleh jumlah tetumbuhan yang diperlukan. Jadi, untuk menghasilkan lapisan batubara setebal 10 meter, sekurang-kurangnya diperlukan tumpukan endapan tetumbuhan setebal 200 meter, atau bahkan lebih.
Skala pergerakan kerak bumi ternyata juga tidak kecil, yaitu dengan ditemukannnya lapisan batubara di kedalaman 3000 meter di bawah dasar laut sewaktu melakukan pengeboran untuk survey minyak bumi di laut Cina Timur.


Klasifikasi Batubara
Klasifikasi praktis berawal dari kebutuhan akan adanya suatu pengelompokan untuk keperluan transaksi perdagangan maupun ekspor impor, serta dari sisi keperluan penggunaan batubara itu sendiri. Umumnya, tujuan pemanfaatan batubara bisa amat berbeda antara satu negara dengan negara lain, sehingga klasifikasi dan metode penamaannya juga sangat berbeda. Namun secara umum, kandungan zat terbang (volatile matter) diambil sebagai nilai acuan baku, dan terdapat kecenderungan yang hampir sama untuk kandungan zat terbang hingga sekitar 32%. Lewat dari angka ini, terdapat perbedaan yang cukup besar antara satu dengan yang lainnya, sehingga umumnya diambil nilai acuan tambahan berupa kandungan air (moisture), nilai kalori dan sebagainya.
Sekarang ini, klasifikasi yang dilakukan relatif lebih tertata rapi. Salah satu contohnya adalah tabel klasifikasi ASTM dari Amerika Serikat yang memasukkan juga batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah (lihat D388 Tabel 1 Classification of Coal by Rank).

Brown Coal atau Lignite
Dalam klasifikasi batubara, secara umum kelompok ini merupakan batubara dengan tingkat pembatubaraan yang paling rendah dan berwarna coklat atau coklat kehitaman. Kandungan air dan zat terbangnya tergolong tinggi, dan umumnya bersifat non-coking atau non-caking. Pada klasifikasi internasional, batubara ini didefinisikan memiliki nilai kalori (ash free basis) kurang dari 5700 kcal/kg.
Penggunaan batubara ini, umumnya sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik. Namun karena kandungan airnya tinggi, maka adakalanya diperlukan proses dewatering terlebih dahulu. Di sisi lain, batubara ini dalam keadaan kering mudah sekali menimbulkan gejala terjadinya swabakar (spontaneous combustion), sehingga handling-nya pun tergolong merepotkan. Saat ini, pengunaan batubara jenis ini di Jepang sangat kecil. Terlepas dari masalah itu, penelitian dan pengembangan teknologi bagi perbaikan kualitas batubara untuk menunjang pemakaian yang lebih stabil terus dilakukan.
Di Jepang, batubara dengan tingkat pembatubaraan yang lebih rendah lagi disebut dengan “atan”. Di dalam aturan industri pertambangan Jepang, “atan” dibedakan dari batubara, dan dianggap sebagai mineral yang berbeda dengan batubara. Namun secara ilmiah, “atan” masuk ke dalam golongan lignit atau brown coal. (Catatan: Peat dan Grass Peat (=Gambut)
Secara umum tidak termasuk golongan batubara. Komponen tetumbuhan asalnya dapat jelas ditentukan dengan mata telanjang, yang menunjukkan tingkat pembatubaraan sangat rendah. Selain itu, kandungan airnya banyak dan nilai kalorinya kecil, sehingga bukan merupakan bahan bakar yang baik. Karena banyak mengandung zat organik, gambut digunakan pula sebagai pupuk. Gambut yang berasal dari rerumputan disebut dengan grass peat (gambut rumput). Namun karena kebanyakan komponen peat adalah grass peat, maka istilah peat dan grass peat sering dipakai untuk menunjukkan arti yang sama.

Batubara Sub-Bituminus
Dalam klasifikasi batubara, jenis ini mengalami tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi dari lignit, namun masih lebih rendah dibandingkan batubara bituminus. Dari sisi caking property-nya, terbagi menjadi non-caking (tak bersifat caking) dan slightly-caking (sedikit menunjukkan sifat caking). Dibandingkan dengan batubara bituminus, kandungan zat terbang (volatile matter)-nya cukup tinggi, dengan nilai kalori yang masih tergolong rendah. Jepang mengimpor batubara jenis ini dari Indonesia, Amerika Serikat, dan lain–lain, yang umumnya dipakai sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik. Namun dari sisi pemakaian, jumlahnya masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan batubara bituminus.

Batubara Bituminus
Batubara jenis ini mengalami tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi dari batubara sub-bituminus, namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan antrasit. Kandungan zat terbang (volatile matter)-nya antara 20-40%, yang merupakan suatu rentang yang cukup besar. Karena itu, sering dibagi lagi menjadi high-volatile bituminous coal, medium-volatile bituminous coal, dan sebagainya. Selain dipakai sebagai bahan baku pembuatan kokas, batubara bituminus dengan caking/coking property yang rendah dipakai pula sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Batubara jenis inilah yang paling banyak digunakan di Jepang.

Antrasite
Batubara ini memiliki tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan batubara bituminus. Kandungan zat terbangnya juga yang paling kecil, dan reaktifitas saat pembakaran tergolong relatif rendah. Batubara jenis ini hampir tak memiliki sifat caking/coking. Penggunaan batubara jenis ini, dapat sebagai bahan baku pembuatan material karbon, briket dan lain-lain,.untuk pulverized coal injection (PCI) pada blast furnace, atau sebagai bahan bakar untuk fluidized bed boiler, kiln semen, dan lain-lain.