WELCOME

WELCOME

Kamis, 27 September 2012

Stabilitas Lereng Di Tambang Terbuka


Tambang Skala Besar
1. Kedalaman mencapai 60 - 850 m
2. Jenis batuan: batuan beku diorite, dacite, agrillite (hard, brittle rock), dan batuan sedimen breksi (weak rock)
3. Studi kasus di tambang Amerika Utara dan Selatan, Asia dan Eropa
4. Batuan yang dijumpai pada tambang Aitik, yaitu batuan keras, terkekarkan.

Faktor Langsung Yang Berpengaruh Pada Stabilitas Lereng :
(a). Kondisi tegangan, termasuk air tanah.
(b). Struktur geologi, khususnya keberadaan struktur skala besar.
(c). Geometri pit.
(d). Kekuatan massa batuan.

Pokok Permasalahannya Adalah :
(a). Penentuan kemungkinan mekanisme dan jenis keruntuhan disaat kondisi lereng tidak stabil.
(b). Melakukan identifikasi paramater geomekanika yang menyebabkan terjadinya keruntuhan lereng.

Besarnya Sudut Lereng Tergantung Pada :
(a). Keberadaan jalan angkut, ramp, tumpukkan hasil peledakan.
(b). Bahaya peledakan.
(c). Kadar.
(d). Batasan ekonomi.

Perkembangan Analisis Stabilitas Lereng :
(1). Pada perencanaan jangka panjang perlu penentuan sudut lereng yang stabil, didasarkan pada karakteristik geomekanika.
(2). Melakukan pemetaan kekar yang lebih detail, dan memperbaiki data hidrologi, melakukan analisis-balik, dan memberikan rekomendasi, Hasil studi ini dapat diperoleh terjadinya keruntuhan geser busur, bidang, step path, baji, dan keruntuhan blok.
(3). Besarnya sudut dapat dicapai dengan memperhatikan peledakan (Krauland dan Sandstrom, 1994, 1996)
(4). Pengurangan kekuatan batuan dapat memberi resiko yang besar terjadinya keruntuhan busur dan step path.
(5). Hasil analisis, bahwa sudut lereng keseluruhan sangat rentan terhadap kohesi dan sudut geser dalam massa batuan. Contoh, untuk lereng terdrainase dengan sudut geser dalam 30º dan kohesi 0,8 MPa pada kedalaman pit 500 m, sudut lereng stabil sebesar 60º, dan bila kohesi 0,5 MPa sudut lereng stabil sebesar 50º (Krauland dan Sandstrom, 1994; Hustrulid, 1995).

Faktor Yang Penting Dalam Stabilitas Lereng Tambang (Stacey, 1968) :
(a). Struktur geologi.
(b). Kondisi tegangan batuan dan air tanah.
(c). Kekuatan diskontinuitas dan intack rock.
(d). Geometri pit, sudut dan permukaan lereng.
(e). Getaran peledakan dan seismik lain.
(f). Iklim.
(g). Waktu.
(h). Lingkungan kaitannya dengan kondisi air asam.

Jenis Model Keruntuhan :
(1). Pada lereng keruntuhan dikendalikan oleh struktur, yaitu keruntuhan bidang dan guling.
(2). Semakin besar skala tambang keruntuhan yang dikendalikan oleh struktur semakin berkurang, dan terjadi keruntuhan step-path failure, yaitu keruntuhan geser busur terjadi sepanjang bidang diskontinu, dan sepanjang perselingan dengan batuan keras (intack rock) yaitu berbentuk keruntuhan lengkung (curve).
(3). Keruntuhan guling terjadi pada lereng alamiah dan lereng dengan ketinggian yang besar.

Mekanisme Keruntuhan :
(a). Pada batuan keras tidak jelas dan bentuk keruntuhan, diperlukan pengetahuan perilaku kinetik lebih bersifat empirik, khususnya di batuan keras dan brittle.
(b). Kekuatan massa batuan sangat sulit ditentukan pada tambang skala besar. Perlu kecermatan yang tinggi untuk menentukan kekuatan massa batuan.
(c). Analisis balik dapat digunakan untuk menentukan kekuatan massa batuan dengan baik.
(d). Interpretasi dan pengertian data kondisi geologi dari satu tempat ke tempat lain sangat terbatas.

Metode Perancangan Lereng Batuan
1. Metode keseimbangan batas.
2. Model numerik.
3. Metode numerik.
4. Metode perkiraan.
Suatu catatan bahwa pada lereng di tambang skala besar pemilihan metode tidak begitu penting dibandingkan dengan menentukan paramater masukkan yaitu kekuatan massa batuan.

Pengendalian Lereng
(1). Penyangga dapat dilakukan pada tambang skala kecil, akan tetapi penirisan sangat berperan pada tambang skala besar.
(2). Pemantauan perpindahan harus dilakukan secara menerus di seluruh tambang.
(3). Ini bisa menunjukkan perpindahan yang lambat dan stabil dan mungkin menerus hingga lereng runtuh.

Berikut Isue Yang Diperlukan Untuk Merancang Lereng Skala Besar :
(A). Mengkuantifikasi struktur geologi dengan perbedaan skala dan ukuran, pada perbedaan tinggi lereng, sebagai parameter masukkan  kontrol terhadap proses keruntuhan sebagai pengaruh faktor skala atau lebih sebagai transition point.
(B). Mengkumpulkan data lapangan, terutama untuk perhitungan back-analysis kekuatan massa batuan.
(C). Mempelajari sejarah lereng yang pernah mengalami keruntuhan.
(D). Mengembangkan kriteria kuantitatif untuk memperkirakan apakah keruntuhan akan lambat dan stabil, atau cepat dan tidak terkontrol.
(E). Mengkuantifikasi faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan massa batuan.
(F). Dari semua itu dapat menghasilkan suatu kajian ilmiah dan akademik sebagai suatu bentuk disertasi doktor. Ini dilakukan dengan mengupdate secara menerus data struktur, sifat kekuatan, dan kondisi hidrologi seluruh pit. Hasilnya berupa update dan revisi dari kriteria design yang telah dilakukan sebelumnya.
(G). Isue utama yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana untuk memprediksi kondisi stabilitas lereng pada skala besar.
(H). Yang penting adalah menentukan  kriteria awal runtuh (bentuk dan lokasi), Kinetika runtuh (stabil atau tidak, terkontrol atau tidak), tetapi dari literatur ini merupakan pekerjaan yang sangat sulit.

Rabu, 26 September 2012

Tujuan dan Perkembangan Klasifikasi Massa Batuan


Tujuan Klasifikasi Massa Batuan (Bieniawski, 1989) :
1. Mengidentifikasi parameter penting yang mempengaruhi perilaku massa batuan
2. Membagi formasi massa batuan kedalam kelompok yang mempunyai perilaku sama
3. Menghubungkan pengalaman di satu lokasi dengan lokasi yang lainnya
4. Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk suatu rancangan rekayasa
5. Memberi dasar umum untuk kemudahan komunikasi diantara para ahli geoteknik dan geologi

Perkembangan Klasifikasi Massa Batuan :
a. Terzaghi (1946) yaitu klasifikasi Rock Load,
b. Lauffer (1958), Pacher et al (1964), Deere et al (1967), dan Wickham et al (1972).
c. Bieniawski (1973) dikenal dengan nama Rock Mass Rating (RMR)
d. Bieniawski & Orr (1976) dan berikutnya oleh Romana (1985)
e. Klasifikasi massa batuan untuk menilai stabilitas lereng saja diperkenalkan oleh Laubscher (1976); Hall (1985); Romana (1985); dan Orr (1992).
f. Roberson pada 1988 melakukan penelitian mengenai hubungan antara stabilitas lereng dan klasifikasi RMR.
g. Swindells (1985) melakukan penelitian mengenai pengaruh peledakan pada stabilitas 16 lereng di Scotlandia yang dikaitkan dengan nilai SMR dari Romana (1985).
h. Selby (1980) melakukan penelitian di Antartika dan Selandia Baru untuk mendapatkan hubungan antara kekuatan singkapan batuan akibat tingkat pelapukan dan orientasi bidang diskontinu dan kemiringan lereng.
i. Hoek dan Brown (1980) mengembangkan metode untuk memperkirakan kekuatan massa batuan, yang didasarkan pada kriteria alahan Hoek – Brown (1980),
j. Geological Strength Index (GSI, Hoek & Brown, 1988) yang merupakan representasi kuantatif kekuatan massa
k. Hoek (1994) dan Hoek, Kaiser & Bawden (1995) menjadi suatu klasifikasi massa batuan.

Berikut Tabel penjelasan tentang Klasifikasi Massa batuan :

Selasa, 25 September 2012

HIGH-WALL DAN LOW-WALL


Pada sebuah galian tambang terdiri dari dua bagian yaitu High wall dan Low wall.

High wall adalah permukaan kerja tambang terbuka atau kuari, khususnya tambang batubara terbuka. Dapat pula berarti permukaan atau lereng dibagian yang lebih tinggi dari tambang terbuka kontur.

Low wall adalah sisi bukaan tanah penutup batubara atau bahan galian tambang lainnya pada tambang terbuka. Dapat juga berarti sisi bukaan tanah/batuan sisi tanah buangan arah tegak lurus terhadap sisi buangan dan arah kemajuan tambang (High Wall).

Low wall dapat ditentukan (searah) berdasarkan Bedding dip suatu permukaan tanah.

Peletakkan High wall dan Low wall dapat ditunjukkan pada gambar-gambar berikut :

Untuk gambaran secara real tentang High-wall dan Low-wall adalah sebagai berikut :

dan gambar berikut juga :